Demokratis, Egaliter dan Otoriter

“Seorang pemimpin adalah pribadi biasa yang kesungguhannya tidak biasa dalam menjadikan dirinya pelayan bagi kebaikan hidup orang banyak.”

-Mario Teguh-

      Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan dan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi. Tipe kepemimpinan yang seperti ini banyak diminati karena mampu menampung segala aspirasi dalam wadah yang lebih besar.

      Seorang pemimpin yang egaliter adalah seorang pemimpin yang mampu mendudukkan diri sebagai kawula, bukan sebagai elit. Egaliter melekatkan makna bahwa seorang pemimpin itu mampu memposisikan dirinya sebagai bagian dari rakyat kebanyakan. Kepemimpinan gaya egaliter banyak diminati oleh bawahan karena sekat antara pemimpin dan yang dipimpin seaka-akan tidak ada.

            Kepemimpinan otoriter merupakan gaya kepemimpinan yang paling tua dikenal manusia. Oleh karena itu gaya kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang atau sekelompok kecil orang yang di antara mereka tetap ada seorang yang paling berkuasa. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Orang-orang yang dipimpin yang jumlahnya lebih banyak, merupakan pihak yang dikuasai, yang disebut bawahan atau anak buah. Kedudukan bawahan semata-mata sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan kehendak pimpinan. Gaya kepemimpinan seperti ini agak jarang peminantnya karena pemahaman manusia akan makna kepemimpina telah meluas.

            Dari tiga gaya kepemimpinan diatas pasti memiliki kelebihan dan kekurangan di setiap lini. Tidak ada gaya kepemimpinan yang benar-benar ideal untuk diterapkan. Semua gaya kepemimpinan harus menyesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Saya dapat menyimpulkan demikian karena setiap pemimpin yang baik harusnya paham ketiga gaya kepemimpinan tersebut. Tidak hanya mengidolakan salah satu diantaranya sehingga mempengaruhi caranya dalam mengambil keputusan.

            Seorang pemimpin dapat berlaku demokratis ketika keputusan yang diamabil dalam kondisi yang kondusif, tidak dalam tekanan dan ada ruang untuk diskusi untuk menentukan pilihan yang terbaik. Namu ada kalanya pemimpin juga dapat berlaku egaliter. Tidak perlu memberikan tuntunan yang berlebihan jika memang dirasa pihak yang dipimpin dapat menentukan pilihannya masing-masing. Ada pula satu masa pemimpin harus bersikap otoriter. Gaya kepemipinan ini memang kurang populer karena lebih banyak terkesan arogan dari pada bijaksana. Gaya kepemimpina otoriter dapat diberlakukan ketika dalam kondisi gawat darurat dan membutuhkan respon cepat untuk kebijakan yang harus segera ditentukan

            Dalam kepanitian OMBAK 2013 ketiga pola kepemimpina ini sudah saya terapkan dengan cukup baik. Cukup baik bukan berarti sempurna tanpa cacat. Adakalanya saya banyak melakukan salah langkah dan berdampak fatal. Salah satu kekurangan dari penerapan gaya kepemimpinan campuran adalah terlalu drastisnya perubahan seorang pemimpin dari satu kebijakan ke kebijakan yang lain dalam kondisi yang berbeda. Hal ini aka menyebabkan kontra indikasi. Jadi sangat diperlukan cara komunikasi yang baik jika hendak menerapkan pola kepemimpinan campuran.

Wallahu a’lam bish-shawab  

 Gambar

NIAT

      “Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya sampai pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia inginkan atau karena wanita yang ia ingin nikahi maka hijrahnya sampai apa yang ia niatkan.”

(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim)

            Layaknya pondasi pada sebuah bangunan, niat dapat dianalogikan sebagai batu pertama, struktur yang kokoh dan rancangan dasar dari sebuah mahakarya. Pondasi akan menentukan bangunan seperti apa yang akan dibuat. Pondasi pula yang akan menjadi tempat bertumpu bagi susunan konstruksi di atasnya. Maka dari itu, pondasi haruslah kokoh, kuat dan mampu menampung beban sesuai dengan kapasitasnya.

            Niat merupakan landasan bagi seorang insan dalam bersikap. Sebuah perbuatan baik tidak akan tercipta dari niat yang buruk. Begitu pula sebaliknya, mustahil perbuatan buruk akan muncul dari sebuah niat yang baik. Memang tidak selalu begitu, kenyataannya terkadang malah niat baik akan dianggap buruk ketika kepahaman tidak hadir dan niat buruk akan terlihat sebagai perbuatan baik ketika dibungkus oleh kemunafikan.

            Niat itu penting karena akan menentukan orientasi seseorang terhadap target dan cara yang digunakan dalam setiap pengambilan keputusan. Melabuhkan pilihan pada sebuah perbuatan baik tidaklah mudah, bahkan akan lebih sulit lagi ketika komitmen kita pada kebaikan itu sedang dalam masa uji coba. Nabi Muhammad sudah menganalogikan konsep niat dengan sebuah model sederhana seperti kutipan hadist di atas. Seorang yang melakukan hijrah karena Allah dan Rasul akan mendapatkan apa yang ia tuju, yakni ridha dari Allah swt dan hidup tenang berdampingan dengan Rasul. Namun jika seorang melakukan hijrah hanya karena wanita yang akan ia nikahi, maka cepat atau lambat ia pasti hanya akan mendapatkan apa yang ia tuju.

            Dari pemaparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa setiap tindak-tanduk manusia itu bergantung pada niatnya. Ikhtiar akan berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Dan hasil merupakan akumulasi niat yang menjadi landasan seseorang dalam bersikap. Jadi sebagai seorang muslim kita perlu merenungi, apa ‘sumber’ niat terbesar kita dalam beramal. Hanya karena kewajiban? Mencari popularitas? Meraup untung yang hanya sesaat? Atau keelokan raga dan rupa?

            Perbaiki selalu niat yang mulai berubah arah. Coba renungkan kembali, karena, untuk dan hanya pada siapa sesungguhnya setiap amal ini?

Wallahu a’lam bish-shawab   Gambar